Tentang Cinta dan Hati Ini yang Rapuh

Kevin Ali Sesarianto
3 min readAug 17, 2017

--

Untuk Hifzan. Untuk Ajie. Untuk Dwita. Untuk Syifa, selamat berulang tahun.

Bicara masalah cinta, kita sering dihadapkan dengan dua pilihan ekstrem, yaitu material dan ideasional. Di satu sisi, kita sering dibisiki oleh masyarakat bahwa cinta itu “harus berduit — karena jika tidak, anak mau dikasih makan apa?” Di sisi lain, ada keinginan dalam diri untuk mengorbankan semua jiwa, raga, dan kepunyaan semata-mata hanya karena ingin berdua. Cinta yang ideasional ini disampaikan dengan baik oleh Tulus dalam lirik lagu Bunga Tidur: “Selama kulihat engkau senang, / yang lainnya kusimpan sendiri.”

Tapi saya setuju dengan cinta yang ideasional, yang eksklusif, yang menjadi tempat persembunyian dari mata-mata melotot penuh penghakiman masyarakat. Georg Simmel, seorang sosiolog Jerman, pernah mengungkapkan konsep dyad, atau hubungan antara dua orang (dy- atau di- menggambarkan jumlah dua, seperti dikotil atau dikotomi). Simmel bilang bahwa society yang paling kecil adalah hubungan antara dua orang karena nilai dan norma dalam society tersebut hanya bersumber dari dua orang yang terlibat. Maka dari itu, hubungan ini bersifat intim sekali — contohnya, kalau saya berada di lingkungan asing, saya harus menghaluskan suara saya, saya harus menundukkan kepala untuk menghormati orang lain, dan pretensi-pretensi lain; ketika berdua dengan teman dekat, saya bisa bicara semau saya dan dia juga bisa bicara semaunya. Simmel pernah bilang bahwa “semakin besar sebuah grup, semakin anggotanya merasa sendirian [as a group becomes larger, the individuals within feel more lonely].” Maka dari itu, kata Simmel, individu ingin “menghindari kenyataan yang pahit” yaitu masyarakat; mereka membuat hubungan dyad, contohnya pacaran.

Pertanyaan “mengapa dua orang menjalin cinta (atau, lebih luasnya, mengapa dua orang membangun sebuah hubungan dyad)” telah terjawab oleh paragraf di atas. Pertanyaan selanjutnya demikian: “Bagaimana seseorang jatuh cinta?” Pertanyaan ini dijawab dengan indah oleh Immanuel Kant:

If I love someone, he must deserve it in some way […] He deserves it if he is so like me in important ways that I can love myself in him; and he deserves it if he is so much more perfect than myself that I can love my ideal of my own self in him.

Intinya, menurut Kant, seseorang akan mencintai orang lain yang (1) demikian serupa dengannya dan sekaligus (2) lebih sempurna darinya. Dengan kata lain, saya melihat diri saya dalam dirinya sekaligus saya ingin menjadi dirinya.

Menurut saya, gabungan konsep dyad Simmel dan konsep cinta Kant merupakan cinta yang akhir (ultimate love). Bayangkan saja, kita menemukan orang yang serupa dengan kita, lalu kita berada dalam dimensi eksklusif dyadic yang hanya dimiliki oleh kita berdua di mana kita bisa bicara dari hati tanpa saringan, berbuat tanpa takut (kecuali takut menyakiti hatinya — betapa tulus!) — dan kita tidak perlu bersolek dan mempercantik diri demi dipandang tinggi oleh ribuan bahkan jutaan orang. Semua yang kita perbuat, kita pikirkan, dan kita kerjakan semata-mata hanya untuk seorang itu. Fenomena ini dirangkai dalam kata oleh Rumi.

Out beyond ideas of wrongdoing and rightdoing, there is a field. I will meet you there. When the soul lies down in that grass, the world is too full to talk about. Ideas, languages, even the phrase “each other” does not make any sense [anymore].

Di mana ketika saya terjemahkan sendiri menjadi demikian

Di mana tiada lagi salah dan benar, ada sebuah taman. Kita akan bertemu di sana. Ketika jiwa kita berbaring di rerumputannya, dunia seketika terasa terlalu sempit. Semua yang di luar sana menjadi tidak bermakna lagi.

Rumi menggambarkan sebuah taman di mana tak ada lagi salah dan benar. Menurut saya, taman di sini menggambarkan hubungan dyad — di dalam hubungan dyad, salah dan benar yang ditentukan oleh masyarakat kehilangan kekuatan memaksanya. Hubungan dyad membuka ruang untuk bernapas dalam dunia yang sempit. Apa kata orang di luar sana hanya jadi angin lalu.

“Yang penting,” kata seseorang dimabuk cinta, “adalah kamu.”

Lalu apa harapan orang dalam hubungan dyad ini? Lagi-lagi diungkapkan dengan indah oleh Rumi. Dia bilang

I’m yours. Don’t give myself back to me.

Sumber: https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/originals/74/e1/ec/74e1eca34776ad178a1321618ce96448.jpg

“Jangan kembalikan aku pada diriku” kiranya mengungkapkan trauma seseorang dalam hubungan dyad akan kesepian yang dialaminya dalam grup besar. Lagipula, seperti yang sudah dijelaskan, Simmel berkata bahwa semakin besar sebuah grup, semakin anggotanya merasa sendirian.

Kita ini sudah lelah merasa sendirian di tengah keramaian. Kita pada akhirnya sudah nyaman dengan berbaring di rerumputan taman itu. Kita tidak mau ke mana-mana lagi.

Sudah lelah.

--

--

Kevin Ali Sesarianto

IR student once again. I’m writing without having to be a writer.